Keteladanan, kata ini digemari dalam wacana, namun banyak dibantah dalam perilaku. Kata ini seperti ringan diucapkan, namun amat sangat berat dijalankan. Mungkin juga termasuk sebuah konsep yang paling sering di-silat-lidah-i oleh para orangtua yang tak terima ketika digugat oleh kaum muda. Qudwah, yang sering langsung diterjemahkan sebagai keteladanan, merupakan salah satu Metode Pendidikan Islam yang paling efektif. Qudwah juga merupakan salah satu perilaku Nabi Muhammad SAW. Perilaku beliau SAW tak pernah menyalahi apa yang beliau ajarkan.
Yah, di situlah intinya, Qudwah artinya, perilaku si pendidik tidak menyalahi atau tidak bertentangan dengan apa yang ia ajarkan kepada anak didiknya.
Suatu sore seorang ayah marah pada anaknya yang kedapatan berbohong padanya. Si anak mengaku pagi itu ia pergi ke rumah neneknya, padahal kemudian ketahuan ia sebenarnya ke warnet. Si anak yang sudah remaja, tak tampak menyesal dimarahi orangtuanya. Mengapa?
Suatu sore lain di masa lalu anak itu, si ayah mendengar pintu diketuk dari luar, si anak disuruh melihat ke jendela dan melaporkan siapa gerangan yang datang. Ternyata teman kantor sang ayah. Si anakpun melapor: ”Pak Fulan, Yah. Aku bukakan pintu ya?”. Serta merta si ayah menyilang telunjuknya ke bibir dan bicara perlahan tapi tegas: ”Ssst! Jangan keras-keras, jangan ketahuan ayah ada di rumah, bilang padanya ayah pergi!” Si anak memandang heran, tapi sang ayah segera menukas:” Sudah jangan banyak tanya, bilang saja begitu!”.
Dapat kita bayangkan, jika kejadian semisal ini sering terjadi, maka sang anak sebenarnya dibesarkan dengan qudwah yang salah. Ayahnya mengharapkan ia tumbuh menjadi pemuda jujur, namun sebagai ayah ia sendiri tidak memberi contoh sebagai sosok yang jujur. Sebaliknya, ia malah lebih dahulu mengajarkan anaknya untuk berbohong.
Di pojok lain di atas dunia ini, seorang ayah menasehati anaknya dengan keras untuk tidak menonton film xxx (film porno). Sang ayah baru mendapat laporan dari sekolah anaknya yang SMA, bahwa si anak kedapatan membawa vcd xxx tersebut di dalam tas sekolahnya. Karena pihak sekolah memberikan hukuman ”merumahkan” si anak, maka ayahnya merasa perlu menasehati anaknya. Tapi apa kata si anak: ”Papa sendiri juga punya ’kan, bahkan ini salah satu koleksi Papa”. Apa jawab ayahnya: ”Lha! Wah kamu kurang ajar dua kali, berarti kamu mencuri benda itu dari tempat Papa ya?”. Kali ini suaranya merendah, sebab ia tak mau isterinya mendengar pembicaraan ini.
Apa anehnya bagi kita jika si remaja SMA ini kemudian juga keranjingan nonton film mesum, jika ia tahu bahwa ayahnya (yang seharusnya menjadi tokoh panutan baginya) juga melakukan dosa yang sama. Apakah ada pembenarannya bahwa seorang bapak boleh menonton film mesum sementara anak tak boleh?
Ehem-ehem, ini kritikan kecil untuk tuan-tuan dan puan-puan di KPI (Komite Penyiaran Indonesia), hendaknya tontonan kekerasan dan kemesuman juga dilarang bagi acara orang dewasa, apalagi mereka yang punya anak. Jadi jangan cuma melarang yang jam tayangnya masih jam anak menonton, tapi hendaknya menghapus semua tontonan seperti itu. Sama sekali tidak memberikan keteladanan bagi anak-anak.
Masih ada yang heran mengapa anak sekarang kecil-kecil sudah merokok, kemudian agak gede sedikit jadi ng-gele (narkoba)? Mengikut pepatah yang ”Guru...(sensor) berdiri, murid...(sensor) berlari”, maka jika si orang tua dulu tahun 1980-an merokok pada usia 15 th, maka anaknya di tahun 2008-an ini merokok di usia 7-10 th. Lebih canggih dari orangtuanya dong, karena begitu tabiatnya.
Jangan heran jika seorang anak menjadi pecandu narkoba jika ternyata ayahnya perokok.
Itulah tabiat dari metode pendidikan yang paling efektif ini. Qudwah artinya, anak didik kita akan segera mengikuti APA YANG KITA LAKUKAN, bukan APA YANG KITA KATAKAN.
Pernah lihat balita lucu gemas menyanyi lagu cinta, atau itu tuh dulu, lagunya mantan Ratu: Teman Tapi Mesra? Apa sih yang dimengerti anak 4 tahun tentang lirik lagu tersebut? Tapi siapa bilang anak usia itu tak bisa melantunkannya, komplit dengan nada? Meniru.
Meniru adalah cara awal manusia belajar, termasuk belajar bahasa. Meniru juga termasuk cara belajar skill. Misalnya belajar berenang dan naik sepeda, bukankah kita menyuruh anak meniru gerakan kita?
Memang ada peniruan yang harus disesuaikan dengan usia, misalnya, seorang anak yang berumur 7 tahun kita larang menyetir mobil karena ”belum cukup umur”. Namun orangtua harus mampu mengkomunikasikan mengapa pada usianya sekarang ia dilarang belajar menyetir mobil, misalnya dengan menerangkan tentang kakinya yang masih terlalu pendek untuk mencapai pedal gas dan rem di ruang kemudi bagian bawah. Jadi memang ada hal yang kita boleh lakukan namun anak belum boleh melakukannya. Tapi ini harus jelas diterangkan kepada anak agar ia tidak menuduh kita asal melarang.
Jika yang dilakukan adalah suatu set perilaku sosial seperti misalnya berbohong tadi, maka sama saja. Yang sebenarnya terjadi adalah peniruan yang dikembangkan, artinya si anak tidak meniru persis, tapi meniru kemudian memperluas.
Masih adakah para orangtua yang heran mengapa seorang anak tetap melakukan apa yang dilarang, jika saja orangtua tersebut sadar bahwa ia sendiri melakukan apa yang ia larang untuk anaknya?